Fashion Show di Atas Sawah yang Tercemar Pamerkan Karya 3 Desainer Indonesia

Tabloidnova.com – Mengenakan masker, payung, dan sepatu bot berbahan karet, serta berlatar pesawahan yang berlimbah pekat dan tak lagi ditanami padi, satu per satu model memasuki catwalk yang dilapisi bilik dari anyaman bambu. Di akhir show, para model membentangkan banner berisi seruan-seruan tentang isu fashion dan lingkungan.

Tentu ini bukan pemandangan yang familiar, khususnya ketika berbicara mengenai fashion show yang biasanya digelar di tempat-tempat mewah dan nyaman.

Fashion show di atas sawah yang tercemar limbah industri ini adalah bagian dari kampanye global organisasi lingkungan Greenpeace yang bertajuk “Detox: Because Beautiful Fashion Shouldn’t Cause Toxic Pollution”.

Dilaksanakan pada Hari Minggu (22/3) bersamaan dengan Hari Air Sedunia, Greenpeace bersama Paguyuban Warga Peduli Lingkungan (Pawapeling) menggaet 3 desainer Indonesia yang mengusung semangat eco fashion, yaitu Felicia Budi, Lenny Agustin, dan Indita Karina bersama mahasiswi BINUS Northumbria School of Design.

Sembilan pakaian yang bernapaskan eco fashion pun dipamerkan pada fashion show di atas sawah yang tercemar limbah Industri di kawasan Rancaekek, Kabupaten Bandung.

Ada pula koleksi Lenny Agustin berjudul “Into The Wood” yang terinspirasi dari suasana hutan tropis Indonesia yang indah. Memilih bahan-bahan katun dan sutera, Lenny mendesain sendiri motif daun dan bunga yang menyemarakkan busana racikannya.

“Motif itu dibuat dengan menggunakan pewarnaan alam dari rontokan daun jati dan limbah kulit manggis. Jadi, saya tak menggunakan zat kimia beracun karena jelas bahwa pewarnaan alam tidak mengandung racun dan zat kimia lainnya.”

“Di dunia fashion, konsumen adalah penentu dan penggerak industri. Kita bisa menuntut perusahaan fashion untuk menggunakan cara yang ramah lingkungan,” ujarnya.

Semangat fashion detox juga tersurat melalui pemilihan lokasi. Tentu bukan tanpa alasan bila area Rancaekek dijadikan lokasi fashion show di atas sawah yang tercemar limbah ini.

Pasalnya, setelah berpuluh tahun lalu dikenal sebagai pesawahan terbesar di Jawa Barat yang menghasilkan padi unggul, kini area yang terletak di perbatasan Kota Bandung dan Garut ini mulai tergerus oleh industri tekstil.

Pabrik-pabrik pemroduksi pakaian jadi yang berjajar di sepanjang Rancaekek, mengalirkan limbah manufaktur ke sungai Citarum, termasuk pesawahan dan tempat tinggal warga. Praktis, hal ini merusak lingkungan dan menurunkan kualitas hidup masyarakatnya.

“Kegiatan ini bagian dari kampanye global tentang Detox dari Greenpeace yang telah mulai sejak tahun 2011 lalu. Kampanye ini dilakukan berdasarkan keyakinan sederhana, yaitu bahwa dunia fashion adalah dunia yang menawarkan keindahan dan kebahagiaan, sehingga sudah seharusnya tidak merusak lingkungan dan membahayakan kesehatan,” terang Juru Kampanye Detox Greenpeace Indonesia, Ahmad Ashov Birry.

Harapan dari kampanye fashion show di atas sawah yang tercemar ini adalah agar para desainer mulai membuka mata terhadap dampak negatif industri fashion yang tak memerhatikan lingkungan, sehingga bisa beralih memproduksi pakaian tanpa menyertakan bahan-bahan kimia yang berbahaya.

“Jutaan orang di seluruh dunia telah setuju dengan idealisme ini dan bergabung dalam kampanye detox. Mulai dari para fashionista, aktivis, hingga nama-nama besar di dunia fashion internasional. Hingga kini, Greenpeace International telah membuat beberapa merek fashion ternama dunia seperti Levi’s, Zara, Adidas, H&M, Mango, Uniqlo, dan lainnya, berkomitmen untuk memproduksi pakaian ramah lingkungan dan tak menimbulkan pencemaran,” paparnya.

Di Indonesia, tentu ini menjadi penting, mengingat banyak bran fashion dunia yang memproduksi pakaiannya di pabrik-pabrik manufaktur Indonesia. “Jadi sangat jelas, bila fenomena industri fashion dunia yang kotor dan beracun terus terjadi, masyarakat Indonesia akan terus menjadi pihak yang dirugikan.”

Source : http://tabloidnova.com/Mode-Dan-Kecantikan/Mode/Fashion-Show-Di-Atas-Sawah-Yang-Tercemar-Pamerkan-Karya-3-Desainer-Indonesia